Halo dunia. Aku seorang introvert dan ini adalah kisahku saat Lebaran—momen yang katanya penuh suka cita, tapi bagiku lebih mirip uji nyali versi sosial sih..
Sebagai seorang introvert, aku hidup damai bersama gulingku, headphone kesayangan, dan kemampuan untuk menghindari percakapan tatap muka selevel ninja. Tapi begitu takbir berkumandang, semua itu hancur berkeping-keping seperti peyek kacang yang jatuh dari kaleng Kong Ghuan.
Lebaran hari pertama, aku tiba di rumah orang yang dianggap paling tua diantara tetangga dan keluarga besar. Baru buka pintu, belum sempat naruh sajadah, sudah disambut dengan pelukan tante, om, sepupu, tetangga, bocil-bocil bahkan mantan Pak RT. Rasanya seperti selebgram yang pulang kampung: semua orang diajak ngobrol, selfie, atau minimal tanya, “Kapan nyusul?” Nyusul apaan? Motor? Pernikahan? Apa aku harus lari sekarang?
Suasana rumah kayak stasiun saat arus mudik. Anak-anak teriak-teriak, ibu-ibu sibuk menata piring, bapak-bapak bahas politik. Aku? duduk di pojok ruang tamu sambil nonton TVRI siaran langsung halal bihalal para pejabat, dengan sirup marjan sudah habis setengah.
Tiap kali ada tamu baru datang, hatiku merintih. Aku sudah pakai strategi bertahan—bawa HP ke mana pun, pura-pura baca artikel penting, padahal cuma buka galeri dan liatin foto kucing. Tapi tetap saja, tidak ada tempat bersembunyi. Bahkan kamar mandi pun jadi tempat antri. Bayangkan: kamu ngumpet di kamar mandi, tapi ada yang ketuk sambil bilang, “Cepet dong, yang lain mau wudhu!” Aku nggak bisa bilang, “Saya lagi recharge sosial energi, Bu.”
Moment berikutnya adalah puncak penderitaan: open house keluarga besar. Ini seperti seminar dengan tema “Raih Mimpi Demi Masa Depan Cerah.” Setiap pertanyaan seperti tembakan sniper ke arah jantung.
Mbak, saya ke sini mau makan ketupat, bukan diinterogasi KPK. Dan akhirnya akupun cuma bisa jawab “Nggeh dongane mawon”
Biasanya, hari ini adalah tur silaturahmi. Kita naik mobil rame-rame, dari satu rumah ke rumah lainnya, kayak konser keliling tapi tanpa bayaran. Dan aku dipaksa ikut, karena “masa gak ikut sih, biar kamu tu tau sama leluhur kita.”
Bayangkan, dari jam 9 pagi sampai jam 6 sore, mampir dari rumah ke rumah. Tujuh. Rumah. Dalam sehari. Setiap rumah harus ngobrol, basa-basi, makan sedikit biar gak dianggap gak sopan. sampai perut ini sudah agak melar penuh dengan aneka ragam peyek, kacang-kacangan, hingga sirup dan teh campur jadi satu.
Kepalaku mulai pening…………………… Aku cuma bisa pasrah. Setidaknya aku tidak dipaksa karaoke.
Akhirnya aku kembali ke rumah. Kamar yang sempit itu terasa seperti surga. Aku berbaring di kasur, memeluk guling, dan berjanji tidak akan mengangkat telepon siapa pun selama 3 hari. Tapi tenang, bukan berarti aku anti-sosial. Aku cuma… low batt.
Tapi ternyata… bekas-bekas sosialisasi masih membekas. Setiap kali HP bunyi, aku refleks tegang. Notifikasi WA dari grup keluarga bikin aku cemas, takut ada ajakan reunian mendadak. Aku jadi trauma suara pintu diketuk. Bahkan, aku mimpi didatangi tante-tante yang nanya, “Kapan nikah?”
Aku butuh healing. Tapi sebagai introvert, healing versiku bukan ke Bali atau staycation. Healing versiku adalah… diam. tidur. Nonton anime. atau merenung di dalam goa. Dan membalas chat tiga hari kemudian dengan kalimat, “Maaf chat kamu tertimbun, hehe.”
Aku Sayang Keluarga, Tapi…
Jangan salah paham. Aku sayang keluargaku. Aku bersyukur masih bisa kumpul dan tertawa bersama mereka. Tapi please, beri jeda. Sosial baterai kami para introvert itu tidak seperti power bank 20.000 mAh. Kami cuma punya baterai kayak HP jadul. Kalau diajak ngobrol kelamaan, kami bisa hang.
Lebaran bukan berarti semua harus serba ramai. Boleh, kan, ada momen hening? Boleh, kan, ada tempat untuk diam tanpa dicurigai sedang ngambek? Boleh, kan, nggak semua obrolan harus dibumbui pertanyaan tentang jodoh dan karir?
Kalau tahun depan aku bilang “nggak bisa pulang karena ada kerjaan,” itu bukan karena aku nggak cinta keluarga. Tapi karena aku mencintai kewarasanku sendiri. Jadi kalau kamu lihat aku rebahan di kasur, memeluk guling, dan menatap langit-langit sambil tersenyum kosong… percayalah, itu bukan depresi. Itu… pemulihan pasca-Lebaran.
Kalau kamu juga introvert dan merasakan hal serupa, mari kita saling mendukung dalam diam. Kita tak perlu berkata-kata. Cukup kirim emoji 😌 dan kita tahu: kita sedang recharge.
~Mohon Maaf Lahir dan Batin~